Latest Post

Gadis remaja yang bergairah mantap banget



Cerita Seks Gairah Sex Penjaga Cargo Agent

Cerita Seks ini terjadi dan aku mau berbagi cerita seks. ketika aku baru mendapatkan sebuah pekerjaan baruku setelah aku selesai kuliahku disalah satu perguruan tinggi di kota metropolitan. Cerita sex kali ini merupakan hal yang baru memang buatku dan iningu berbagi pada kalian semuanya. Ketika aku melamar suatu pekerjaan aku diterima dan aku pertamakali bekerja aku harus berangkat pagi sekali. Oh..ya perkenalkan nama aku Yudiawan, aku masih berumur 22 tahun, dengan usiaku masih muda menurut aku untuk jenjang kedepan aku masih lama nie. Langsung saja dech cerita seks kaili ini,

cerita ini menceritakan seorang gadis yang penuh gairah seks penjaga cargo. Ini awal ceritanya. Pada pagi-pagi aku berangkat kerja, aku kira kantor aku buka jam 7 pagi eh rupanya jam 8 baru baru buka kalau gini q bias berangkat agak siang, wah nie nuguin yang bawa kunci kantor sambil aku nunggu penjaga kantorku datang. Tidak berapa lama, ada cewek yang sedang membuka rolling door ruko di sebelah kantorku. Ah daripada nongkrong sendirian, lebih bagus

nongkrong berdua, pikirku.

“Hai.., baru buka kantor ya?”, tanyaku berbasa-basi.

“Iya..”, jawabnya ramah.

“Kantor kamu kantor apa sih”, tanyaku, sebab di depan kantornya, tidak ada satupun papan nama yang menjelaskan nama kantor itu.

“Cargo Agent”, katanya sambil mendorong pintu kantornya ke samping. Melihat dia kesulitan mendorong pintu, akupun membantu mendorongnya, ” Kamu karyawan baru di kantor sebelah ya..?”, tanyanya.

“Iya.., eh kenalin, saya Yudiawan”.

“Haryani..”, jawabnya sambil tersenyum.

Sebelumnya, aku mau kasih gambaran gimana Haryani ini. Doi kulitnya putih, matanya sipit, rambutnya panjang sebahu, pipi tembem, tingginya sehidungku, atau kira-kira 160 cm,badannya agak berisi, payudaranya berukuran sedang,

normal. Aku suka bentuk pinggul, pantat dan betisnya, aduhai sekali. Pagi itu Haryani memakai Blazer Hitam dengan dalaman kaos putih dan rok berbahan kaos selutut dengan belahan samping, menampakkan sedikit pahanya yang putih mulus. Dan juga dia agak bungkuk badannya, kata orang- orang sih, kalau agak bungkuk, nafsunya besar! Dan akhirnya sambil menunggu pintu kantorku buka, akupun ngobrol dengan Yani, dia di kantor itu bekerja sebagai accounting. Dia yang membawa kunci pintu kantor, sebab dia tinggal di kost-kostan di Mangga Dua juga, dan dia datang selalu jam 8.00 pagi. Haryani orangnya baik, nikmat jadi teman ngobrol. Orangnya cepat akrab dan terbuka. Aku jadi terasa bersemangat ngobrol dengan dia. Apalagi orang-orang kantornya datang tidak on time, orang-orang kantornya baru datang 15 menit kemudian, jadi aku bisa berdua dengannya. Dan dia membuatkan teh panas untukku, apa tidak asyik tuh. Haryani ternyata juga merantau sepertiku, dia berasal dari Pontianak. dia juga dulu kuliah di Jogja sepertiku, dan hal inilah yang membuat kami dapat cepat akrab.

Sampai akhirnya jam sudah menunjukkan 8.30, tapi aku belum melihat satupun orang kantorku yang datang. Jadi aku terus ngobrol dengan Haryani. Dari Haryani aku tahu kalau kantorku ternyata buka jam 9.00, dan kunci kantorku selalu dibawa oleh bagian Accounting, Ani namanya, yang juga kost di sekitar Mangga Dua. Ya sudah, aku terus saja ngobrol. Sampai akhirnya jam 9.00 baru aku keluar dari kantornya, sebab, selain kantorku buka jam 9.00, aku juga tidak enak lama-lama gangguin Haryani kerja.

Hari pertama di kantor membuatku stress bukan main. Ternyata banyak yang harus aku pelajari lagi. Siangnya, aku makan siang cepat-cepat, dan kembali bekerja. Sorenya, aku senang sekali, akhirnya jam pulang kantor tiba juga. Aku lewati kantor Haryani, tapi aku malas masuk menyapanya, sebab hari itu aku sudah pusing sekali, ingin cepat-cepat pulang dan tidur!

Besoknya, aku pergi dari rumah jam 8.00 dan sampai di kantor sekitar jam 8.30, aku mampir dulu ke kantor Haryani, dan ternyata dia masih sendiri, orang-orang kantornya belum ada yang datang. Akupun mulai bercerita mengenai pengalaman hari pertama kerja. Aku curhat ke dia kalau aku stress sekali di hari pertama. Dia memberi dorongan kepadaku supaya aku tidak mudah menyerah, maju terus pantang mundur. Pokoknya, dia betul-betul memberi support, sehingga aku bisa semangat lagi bekerja, walaupun sore hari pulang kerja aku masih saja suka pusing. Tidak terasa sudah sebulan

bekerja, ketika malam minggu, iseng-iseng aku mengajaknya jalan dan makan-

makan, pertama dia menolak. Tapi aku maju terus pantang mundur

mengajaknya jalan, dengan alasan jalan-jalan untuk menghilangkan stress dan

mentraktir dia dengan gaji pertamaku, akhirnya dia mau juga.

Hari sabtu, aku dan dia pulang kerja jam 14.00, kami langsung ke M2M, nonton

film yang jam lima sore, terus makan-makan di restoran Pizza. Tadinya dia

kelihatan kaku ketika jalan berdua denganku, tapi lama-kelamaan, dia mulai

terbiasa, dan saat kugandeng tangannya, dia cuek. Sampai akhirnya jam

setengah delapan malam, kuantar dia ke kostnya.

Ternyata di luar sedang hujan, dan kami berlari-lari masuk ke dalam bajaj. Saat

itu di dalam bajaj, kami berdua menggigil kedinginan basah karena hujan dan

terkena angin malam yang dingin sekali. Sampai di kostnya, aku di ajaknya

masuk ke kamarnya. Tempat kost Haryani sepi sekali, kata Haryani, kalau hari

Sabtu banyak yang pergi, ada yang pulang ke Bandung, ke Bekasi, ke

Tangerang dll. Akupun masuk ke kamarnya yang hanya 3×3 itu dengan kamar

mandi di dalam. Haryani menyuruhku tinggal dulu sampai hujan reda.

Sementara Haryani mandi, aku di kamarnya hanya menonton TV. Selesai mandi,

dia mengenakan daster selutut berwarna putih. Aku bisa melihat bayangan

badannya di dalam daster, bra dan celana dalam putih yang dikenakannya.

Melihat pemandangan indah itu, yang sebelumnya penisku menciut karena

kedinginan, tiba-tiba langsung tegap! Aku tidak berkedip memadang Haryani,

dan Haryani tahu kalau aku memandangi tubuhnya, dia langsung mengalihkan

perhatianku.

“Wan, sono dah mandi, entar masuk angin loh..”.

“Trus, entar abis mandi pakai apa?”, tanyaku.

“Pake kaosku saja tuh, sama celana pendekku, nih handuknya!” katanya sambil

melempar handuk ke arahku.

Jadilah aku mandi dan memakai pakaiannya. Celananya ternyata pendek sekali,

aku jadi agak risih memakainya, tapi daripada memakai celana panjangku yang

basah karena hujan, lebih baik memakai yang kering. Selesai mandi, dia sudah

menyajikan teh hangat dan kue kering. Lumayan untuk menghangatkan badan.

Kemudian aku melihat album-album fotonya, aku godain dia melihat foto-

fotonya waktu kecil yang punya tompel di pipinya dan sekarang sudah

dioperasi.

Ketika membolak-balik foto-fotonya, tiba-tiba aku baru sadar, dasternya

agak terangkat ketika dia duduk dan memperlihatkan pahanya yang putih itu.

Aduh, lagi-lagi penisku tegang dan untungnya masih ketutupan sama album

foto Haryani. Akhirnya, karena posisiku tidak enak, album foto kuletakkan saja

di lantai, kulihat celanaku sudah menonjol gara-gara penisku yang berdiri

tegang. Aku coba rileks saja dan ngobrol apa saja dengan Haryani.

Sementara di luar hujan masih saja deras, jam sudah menunjukkan 10.30. Aku

sudah merasa tidak enak sama Haryani, tapi aku stay cool saja. Sementara

Haryani sendiri kelihatan sudah mulai mengantuk, tiba-tiba dia merebahkan

kepalanya di pahaku.

Kuelus-elus rambutnya lembut, dia memejamkan matanya. “Wan, saya sudah

ngantuk nih, lu nginep saja deh disini.., Hoooahh (Haryani menguap), temenin

saya yah..”, katanya sambil masih memejamkan matanya.

“Iya deh”, kataku sambil terus mengelus-elus rambutnya. Tidak beberapa

lama, mungkin karena tidak enak posisinya, dia menggerakkan kepalanya dan

tidak sengaja kena penisku (yang masih tegang), “Ee.., eh.., adik tidur yaa..”

katanya sambil tangannya mengusap penisku, dan ini membuatku sangat

terkejut setengah mati.., Kali’ dia tidak sadar, atau sedang mengigau

barangkali, pikirku.

Aku belum juga mengantuk, dan Haryani terus terlelap, tidur seperti orang

mati. Lama-kelamaan, capek juga pahaku menahan kepalanya, segera

kugendong badannya (yang ternyata berat setengah mati) ke kasur.

Kutidurkan dia di kasur. Tapi, tidak sengaja, dasternya tersikap, dan tampaklah

celana dalamnya yang putih dan pahanya yang mulus, membuatku sangat

terangsang. Mau kututup pahanya, tapi sayang, kapan lagi aku bisa melihat

pemandangan begini. Ini momentnya tepat sekali.

Kuelus pahanya, betul-betul mulus dan lembut. Kucium lembut pahanya,

mulai dari lututnya hingga ke atas mendekati selangkangannya. Kulihat

Haryani masih terlelap tidak bergeming, akupun mulai berani merenggangkan

kakinya, sehingga selangkangannya terbuka, dan kutekuk lututnya, sehingga

sekarang selangkangannya sudah betul-betul terbuka. Kucium bagian paha

sekitar selangkangannya. Kucium celana dalamnya. Ingin aku merasakan

daging di balik celana dalamnya.

Dengan hati-hati sekali, kugeser pinggir celana dalam sebelah kiri ke arah

kanan. Dan aku mulai terangsang hebat ketika kulihat daging berbentuk bibir

berwarna merah kecoklatan itu terlihat. Sambil tanganku menahan pinggir

celana dalamnya, kucium lembut vaginanya yang berbulu lebat itu. Nyum..,

nikmat sekali rasanya ketika lidahku mulai menjilat-jilat lubang kemaluannya

itu. Kujilat-jilat bibir di kiri dan kanannya, kupakai kedua tanganku untuk

membuka bibir yang menutupi bagian dalam vaginanya itu dan kemudian

mulai menjilati clitorisnya.

Kumainkan terus lidahku di daerah sensitif vaginanya. Ternyata, Haryani mulai

merasakan kenikmatan permainanku, nafasnya mulai tak beraturan. Terus

kujilati vaginanya yang basah itu oleh air liurku. Sampai akhirnya aku merasa

ada cairan hangat keluar dari vaginanya.

Akupun berhenti menjilatnya, lagian leherku juga sakit dengan posisiku yang

tengkurap sambil menjilat vaginanya. Sambil berdiri, kulihat penisku masih

berdiri dengan gagahnya. Kupikir, kalau aku memasukkan batangku ke vagina

Haryani, pasti dia akan terbangun dan mungkin akan mengusirku, itu sama

saja dengan memper***a, jadi terpaksa aku keluarin di kamar mandi. Aku

keluar sampai tiga kali di kamar mandi, kalau aku bayangkan enaknya vagina

Haryani dan kalau saja aku bisa memasukkan penisku di dalam lubangnya yang

hangat.

Setelah itu, peniskupun tidur kecapean, tidur di lantai yang beralaskan karpet.

Ternyata, aku tidak bisa terlelap tidur, jam 5.00 pagi aku terbangun, dan susah

untuk tidur kembali. Kulihat Haryani masih terlelap di tempat tidur. Kuhampiri

dia, dan kutatap wajahnya yang polos tanpa make up itu. Wajahnya terlihat

cantik ketika tidur. Kukecup pipinya mesra. Dia masih tetap terlelap. Kukecup

bibirnya yang agak tebal. Lembut sekali. Kuisap-isap lembut bibirnya, seperti

aku mengisap-isap sebuah permen yang kenyal. Birahiku mulai timbul lagi.

Sambil terus memainku bibirnya di bibirku, tanganku mulai merayap ke arah

payudaranya, kuremas-remas payudara yang padat namun lembut dan kenyal

itu. Gila benar nih, aku sudah terangsang sekali. Ingin aku mengulangi

perbuatanku tadi malam.

Tapi, tiba-tiba Haryani terbangun, dia mengusap-usap matanya, dan

melihatku seperti tak percaya kalau aku sekarang berada di sisinya. Tanpa

kusadari, tanganku masih berada di atas payudaranya. Belum sempat dia

berkata apa-apa, kukecup lagi bibirnya dengan lembut, “Selamat pagi Yani”,

kataku. Dia masih belum sadar juga rupanya dan mengguman tak jelas.

Kukecup lagi bibirnya, dan kali ini kuisap-isap bibir itu. Haryani sepertinya

merasakan kenikmatan (antara sadar dan tidak sadar), dia hanya diam dan

menikmati.

Sambil kumainkan bibirnya dengan bibirku, aku mulai memainkan tanganku di

payudaranya, kuremas-remas lembut payudaranya yang berukuran 32B itu.

Sekali, kulepaskan kecupanku di bibirnya, dan kuhujani pipinya dengan

kecupanku, dan saat aku kembali mengulum bibirnya, dia mulai membalas

permainanku. Aku memberanikan tanganku mengarah ke selangkangannya, dan

mulai mengusap-usap selangkangan yang hangat itu. Mula-mula aku

mengusap-usap celana dalamnya, dan setelah beberapa lama kami pelukan,

mulai kuberanikan memasukkan jariku dari sela-sela celana dalamnya dan

menyentuh vaginanya yang basah itu. Aku mainkan jari tengahku di sekitar

clitorisnya. Licin sekali rasanya vagina Haryani.

Permainan jariku membuatnya menggelinjang, pinggulnya bergerak-gerak

seirama dengan gerakan tanganku. Aku ingin melakukan lebih jauh lagi, dan

kuhentikan aktivitasku, sambil kutatap matanya, kutarik daster yang

dipakainya ke arah atas, dan dia seakan mengerti dengan maksudku, dia

menaikkan pinggulnya sehingga daster dapat dengan mudah melewati

pantatnya hingga akhirnya lepas dari tubuhnya.

Kulepas kancing BH diantara 2 cupnya. Kini, yang ada di depanku adalah tubuh

putih mulus seorang gadis yang hanya mengenakan celana dalam dengan

tatapan penuh menantang. Segera kuisap puting payudaranya yang berwarna

coklat kemerahan itu, sementara tangan kananku kuselipkan ke dalam celana

dalamnya dan kembali kumainkan clitorisnya. Kali ini Haryani betul-betul

merasakan terangsang dan keenakan yang luar biasa, ini bisa kurasakan dari

nafasnya yang makin tidak teratur dan desahan-desahan kenikmatan. Bentuk

buah dada Haryani memang betul-betul bagus, masih kencang dan tidak

terlalu kecil.

Kemudian, setelah beberapa saat, Haryani merintih kencang, hampir setengah

berteriak dan otot-otot badannya seperti mengejang, sepertinya dia telah

orgasme.

Dan tak beberapa lama, dia menghembuskan nafas panjang, “Yudiawan…,

nikmat banget.., Kamu memang betul-betul..”, belum selesai dia mengucapkan

kata-katanya, segera kukecup bibirnya yang seksi itu.

“Kamu mau merasakan yang lebih hebat lagi..”, kataku sambil berdiri dan mulai

melepaskan pakaianku. Dan ketika celanaku kubuka, penisku yang sejak tadi

sudah mendesak di celanaku, langsung menunjuk ke depan, besar, tegang dan

siap untuk memasuki liang kewanitaannya. Mata Haryani tidak berkedip

melihat tubuhku yang bugil, dan tangannya mengusap-usap penisku.

“Ya ampun.., besarnya..”, kata Haryani dengan mata tak berkedip. Dia kulum

bibirku sambil tangannya terus mengelus-elus barangku yang besar itu.

Kemudian, dia mencium penisku.

“Yan, berani tidak kamu isep?”, tanyaku menantang. Pertama, dia jilati kepala

penisku dengan lidahnya yang mungil. Kemudian, dia mulai berani

memasukkan penisku ke dalam mulutnya, walaupun hanya kepala penisku saja,

dan dia mulai mengisap maju mundur. Aku merasakan kegelian sekaligus

nikmat.

Tak beberapa lama, aku mulai bosan dengan hisapannya, aku tahu ini pertama

kalinya dia mengisap penis lelaki, dan dia belum begitu mahir melakukannya.

Kemudian, kusuruh dia tidur di tempat tidur, dengan pantat berada di pinggir

tempat tidur. Kulepas celana dalammya yang sejak tadi belum dilepas. Dan aku

mulai menjilat-jilat vaginanya yang telah kembali menguncup itu. Kujilat

cairan putih yang telah mengental di pinggir liang surganya. dia merasakan

keenakan dan mulai mendesah keenakan. vaginanya mulai basah kembali oleh

ludahku dan kurasakan vaginanya telah membesar.

Sebelum dia kembali orgasme, dengan berdiri di atas lututku, aku

memasukkan penisku ke dalam vaginanya yang hangat. Belum ada

seperempatnya senjataku masuk, dia merasakan pedih. Kusuruh dia memberi

air ludahnya di kepala penisku, supaya penisku basah dan mudah masuknya,

kemudian kucoba memasukkan lagi, dan dia kembali merintih sakit.

Kutenangkan dia dan menyuruhnya untuk rileks, dan aku coba kembali, kali ini

aku mencoba menyoblosnya dengan cepat, kutarik pinggulnya ke arahku dan

kudorong pantatku ke depan dengan kuat.

“Bless”. Akhirnya terbenam semua, dan kulihat wajah Haryani yang menahan

sakit. Supaya dia tak lama-lama merasakan sakit, segera kumaju-mundurkan

penisku di dalam liang vaginanya. Terasa hangat dan ketat sekali vagina

Haryani ini. Lama-kelamaan, genjotan penisku mulai lancar, dan aku sampai

memejamkan mataku merasakan keistimewaan vagina Haryani.

Kami saling mendesah dan merintih keenakan. Saking cepatnya aku

menggenjot, sampai kasur yang ditidurinya ikut bergerak hebat. Lama-

kelamaan aku tak tahan lagi, segera kutarik keluar penisku dan mulai

menembakkan isinya ke paha Haryani dan ke kasur, aku kocok penisku sendiri

dan aku merasakan sensasi yang sangat dahsyat, seluruh tubuhku mengejang,

hingga akhirnya seluruh cairan spermaku sudah habis, tapi aku belum merasa

capek.

Segera aku ke kamar mandi dan membersihkan penisku, dan aku kembali lagi

menggenjot Haryani. Kali ini, penisku bertahan lama sekali, hingga Haryani

orgasme, aku belum keluar juga. Sampai akhirnya Haryani orgasme yang

ketiga kalinya, baru aku ikut Orgasme. Setelah itu, kami berdua tidur dengan

nyenyak dengan tubuh telanjang.

Saat ini aku masih sering memikirkan kejadian itu, kok bisa-bisanya dengan

mudah aku dapat merengut kegadisan Haryani, mungkin juga memang aku

sedang lucky. Tapi, yang penting setelah saat itu aku dapat bebas ber-making

love dengan Haryani. Kami berdua suka melakukan eksperimen, mencoba

gaya-gaya baru, yang kami lihat dari film BF berdua di kamar Haryani. Haryani

mudah sekali terangsang kalau aku sudah mengisap payudara dan vaginanya,

apalagi kalau lagi sedang menonton BF. Supaya permainan kami aman, aku

dan Haryani suka membeli persediaan kondom.

Satu hal yang aku perhatikan, Haryani semakin hebat dalam melakukan

hubungan seks, dia mulai pintar melakukan oral seks dan mulai bebas

mengeluarkan suaranya ketika dia orgasme, padahal kami melakukannya di

kamar kostnya yang hanya di batasi sebuah tembok dengan kamar sebelahnya,

dia dengan enaknya berteriak setiap kali dia mencapai orgasme. Pokoknya,

hidup serasa nikmat setiap kali aku berhubunga dengannya, apalagi kami

dalam berhubungan badan sama-sama gilanya, hampir setiap hari, biasanya

sepulang kerja aku mampir ke kostnya dan sebelum pulang pasti dia minta

“ditusuk” (itu istilah kami berdua).

Pernah suatu saat, aku tidak masuk kerja karena ada urusan keluarga, dan

malamnya dia menelepon supaya aku besok datang jam 7.00 ke kantor, karena

dia kangen untuk ditusuk dan dia punya surprise untukku.

Besoknya, jam 7 pagi aku datang dan dia sudah menunggu di dalam kantornya.

Rolling door kantor dibukanya sedikit, dan di dalam kantor, begitu aku masuk,

tanpa ba-bi-bu, dia langsung mengulum bibirku, dan menyuruhku duduk,

sementara dia duduk di atas meja.

Lalu dia menyuruhku menebak, kejutan apa yang dia siapkan untukku. Tentu

saja aku tidak tahu, dan aku jawab saja asal-asalan, sampai akhirnya dia kesal

sendiri, dan dibukanya rok mini yang dipakainya, tampaklah selangkanganya

yang tanpa mengenakan celana dalam dan bersih dari rambut.

Ternyata dia mencukur habis semua bulu vaginanya. Aku tentu saja senang

melihatnya dan penisku kontan langsung berdiri sampai celanaku terasa sesak

sekali. Seperti biasa, sebelum minta ditusuk, dia ingin vaginanya dijilat-jilat

dulu olehku. Dan akupun mulai menciumi bibir-bibir vagina yang berwarna

kemerahan. Aku suka sekali dengan bau khas vaginanya, yang membuatku

ingin terus mencium vaginanya. Kujilat-jilat bagian dalam bibirnya, dan mulai

kujilat clitorisnya. Kadang kuvariasikan dengan isapan-isapan di clitorisnya.

Tidak beberapa lama, setelah vaginanya basah, aku mulai membuka

ritsluitingku dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya.

Kami berdua bercinta atas meja di dalam kantornya. Dia tidak cukup sekali

orgasme, dia selalu minta nambah, dan aku selalu dapat memenuhi

keinginannya itu. Aku merasa seksi sekali bercinta dengannya di atas meja,

apalagi ketika kami melakukan gaya doggy style. Aku dan Haryani di atas meja

masih dengan berpakaian lengkap. Kemudian aku duduk di kursi, dan dia

menindihku dari atas.

Pagi itu, kami sangat puas sekali, sebab selain di kamar kostnya, making love

di kantor Haryani baru kali ini kami lakukan dan tidak ketahuan siapa-siapa.

Tapi, tentu saja making love di kantor tidak kami lakukan terlalu sering, sebab

aku tidak terlalu suka pergi pagi-pagi sekali dari rumah ke kantor.

Sampai akhirnya, akhir bulan April, kantor Haryani bangkut, karena ada

masalah keuangan dengan penanam modalnya, sehingga semua karyawannya

diberhentikan. Dan ketika Haryani sibuk mencari-cari pekerjaan, tiba-tiba dia

mendapat panggilan pekerjaan dari kokonya di Penang.

Akhirnya tanggal 26 Mei, Haryani pergi ke Penang. Terus terang, aku merasa

sedih sekali atas kepergiannya, dan aku tahu diapun juga merasakan demikian.

Tapi apa dayaku, kalau untuk mengawininya, aku belum cukup modal.

Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk bisa menahannya terus di Jakarta. Sampai

saat kepergiaannya, di bandara aku memeluknya dan memberikan ciuman

selamat tinggal, sebab dia akan lama sekali tinggal di Penang, dan mungkin

tidak akan kembali lagi ke Jakarta. Kalaupun dia balik ke Indonesia, dia akan

balik ke Pontianak, tempat ayah ibunya berada.
 

BERCINTA SEKS DENGAN TUKANG PIJAT PUAS ENAK DAN CAPEK


Sebuah kisah bercinta atau ngentot (ML) dengan pekerja

salon (terapis) yang mana menyediakan jasa pijat dan

lalu karena nafsu berakhir dengan hubungan seks. Simak

kisah lengkapnya berikut ini!

Jakarta yang panas membuatku kegerahan di atas

angkot. Kantorku tidak lama lagi kelihatan di kelokan

depan, kurang lebih 100 meter lagi. Tetapi aku masih

betah di atas mobil ini. Angin menerobos dari jendela.

Masih ada waktu bebas dua jam. Kerjaan hari ini sudah

kugarap semalam. Daripada suntuk diam di rumah, tadi

malam aku menyelesaikan kerjaan yang masih

menumpuk. Kerjaan yang menumpuk sama

merangsangnya dengan seorang wanita dewasa yang

keringatan di lehernya, yang aroma tubuhnya tercium.

Aroma asli seorang wanita. Baunya memang agak lain,

tetapi mampu membuat seorang bujang menerawang

hingga jauh ke alam yang belum pernah ia rasakan.

“Dik.., jangan dibuka lebar. Saya bisa masuk angin.” kata

seorang wanita setengah baya di depanku pelan.

Aku tersentak. Masih melongo.

“Itu jendelanya dirapetin dikit..,” katanya lagi.

“Ini..?” kataku.

“Ya itu.”

Ya ampun, aku membayangkan suara itu berbisik di

telingaku di atas ranjang yang putih. Keringatnya

meleleh seperti yang kulihat sekarang. Napasnya

tersengal. Seperti kulihat ketika ia baru naik tadi,

setelah mengejar angkot ini sekadar untuk dapat secuil

tempat duduk.

“Terima kasih,” ujarnya ringan.

Aku sebetulnya ingin ada sesuatu yang bisa diomongkan

lagi, sehingga tidak perlu curi-curi pandang melirik

lehernya, dadanya yang terbuka cukup lebar sehingga

terlihat garis bukitnya.

“Saya juga tidak suka angin kencang-kencang. Tapi saya

gerah.” meloncat begitu saja kata-kata itu.

Aku belum pernah berani bicara begini, di angkot

dengan seorang wanita, separuh baya lagi. Kalau kini

aku berani pasti karena dadanya terbuka, pasti karena

peluhnya yang membasahi leher, pasti karena aku

terlalu terbuai lamunan. Ia malah melengos. Sial. Lalu

asyik membuka tabloid. Sial. Aku tidak dapat lagi

memandanginya.

Kantorku sudah terlewat. Aku masih di atas angkot.

Perempuan paruh baya itu pun masih duduk di depanku.

Masih menutupi diri dengan tabloid. Tidak lama wanita

itu mengetuk langit-langit mobil. Sopir menepikan

kendaraan persis di depan sebuah salon. Aku perhatikan

ia sejak bangkit hingga turun. Mobil bergerak pelan, aku

masih melihat ke arahnya, untuk memastikan ke mana

arah wanita yang berkeringat di lehernya itu. Ia

tersenyum. Menantang dengan mata genit sambil

mendekati pintu salon. Ia kerja di sana? Atau mau

gunting? Creambath? Atau apalah? Matanya

dikerlingkan, bersamaan masuknya mobil lain di

belakang angkot. Sial. Dadaku tiba-tiba berdegup-

degup.

“Bang, Bang kiri Bang..!”

Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah suaraku

mengganggu ketenangan mereka?

“Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek,” sang supir

menggerutu sambil memberikan kembalian.

Aku membalik arah lalu berjalan cepat, penuh semangat.

Satu dua, satu dua. Yes.., akhirnya. Namun, tiba-tiba

keberanianku hilang. Apa katanya nanti? Apa yang aku

harus bilang, lho tadi kedip-kedipin mata, maksudnya

apa? Mendadak jari tanganku dingin semua. Wajahku

merah padam. Lho, salon kan tempat umum. Semua

orang bebas masuk asal punya uang. Bodoh amat. Come

on lets go! Langkahku semangat lagi. Pintu salon

kubuka.

“Selamat siang Mas,” kata seorang penjaga salon,

“Potong, creambath, facial atau massage (pijit)..?”

“Massage, boleh.” ujarku sekenanya.

Aku dibimbing ke sebuah ruangan. Ada sekat-sekat,

tidak tertutup sepenuhnya. Tetapi sejak tadi aku tidak

melihat wanita yang lehernya berkeringat yang tadi

mengerlingkan mata ke arahku. Ke mana ia? Atau

jangan-jangan ia tidak masuk ke salon ini, hanya pura-

pura masuk. Ah. Shit! Aku tertipu. Tapi tidak apa-apa

toh tipuan ini membimbingku ke ‘alam’ lain.

Dulu aku paling anti masuk salon. Kalau potong rambut

ya masuk ke tukang pangkas di pasar. Ah.., wanita yang

lehernya berkeringat itu begitu besar mengubah

keberanianku.

“Buka bajunya, celananya juga,” ujar wanita tadi manja

menggoda, “Nih pake celana ini..!”

Aku disodorkan celana pantai tapi lebih pendek lagi.

Bahannya tipis, tapi baunya harum. Garis setrikaannya

masih terlihat. Aku menurut saja. Membuka celanaku dan

bajuku lalu gantung di kapstok. Ada dipan kecil

panjangnya dua meter, lebarnya hanya muat tubuhku

dan lebih sedikit. Wanita muda itu sudah keluar sejak

melempar celana pijit. Aku tiduran sambil baca majalah

yang tergeletak di rak samping tempat tidur kecil itu.

Sekenanya saja kubuka halaman majalah.

“Tunggu ya..!” ujar wanita tadi dari jauh, lalu pergi ke

balik ruangan ke meja depan ketika ia menerima

kedatanganku.

“Mbak Wien.., udah ada pasien tuh,” ujarnya dari ruang

sebelah. Aku jelas mendengarnya dari sini.

Kembali ruangan sepi. Hanya suara kebetan majalah

yang kubuka cepat yang terdengar selebihnya musik

lembut yang mengalun dari speaker yang ditanam di

langit-langit ruangan.

Langkah sepatu hak tinggi terdengar, pletak-pletok-

pletok. Makin lama makin jelas. Dadaku mulai berdegup

lagi. Wajahku mulai panas. Jari tangan mulai dingin. Aku

makin membenamkan wajah di atas tulisan majalah.

“Halo..!” suara itu mengagetkanku. Hah..? Suara itu lagi.

Suara yang kukenal, itu kan suara yang meminta aku

menutup kaca angkot. Dadaku berguncang. Haruskah

kujawab sapaan itu? Oh.., aku hanya dapat menunduk,

melihat kakinya yang bergerak ke sana ke mari di

ruangan sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi bulu-bulu

halus. Aku masih ingat sepatunya tadi di angkot. Hitam.

Aku tidak ingat motifnya, hanya ingat warnanya.

“Mau dipijat atau mau baca,” ujarnya ramah mengambil

majalah dari hadapanku, “Ayo tengkurep..!”

Tangannya mulai mengoleskan cream ke atas

punggungku. Aku tersetrum. Tangannya halus. Dingin.

Aku kegelian menikmati tangannya yang menari di atas

kulit punggung. Lalu pijitan turun ke bawah. Ia

menurunkan sedikit tali kolor sehingga pinggulku

tersentuh. Ia menekan-nekan agak kuat. Aku meringis

menahan sensasasi yang waow..! Kini ia pindah ke paha,

agak berani ia masuk sedikit ke selangkangan. Aku

meringis merasai sentuhan kulit jarinya. Tapi belum

begitu lama ia pindah ke betis.

“Balik badannya..!” pintanya.

Aku membalikkan badanku. Lalu ia mengolesi dadaku

dengan cream. Pijitan turun ke perut. Aku tidak berani

menatap wajahnya. Aku memandang ke arah lain

mengindari adu tatap. Ia tidak bercerita apa-apa. Aku

pun segan memulai cerita. Dipijat seperti ini lebih

nikmat diam meresapi remasan, sentuhan kulitnya.

Bagiku itu sudah jauh lebih nikmat daripada bercerita.

Dari perut turun ke paha. Ah.., selangkanganku disentuh

lagi, diremas, lalu ia menjamah betisku, dan selesai.

Ia berlalu ke ruangan sebelah setelah membereskan

cream. Aku hanya ditinggali handuk kecil hangat. Kuusap

sisa cream. Dan kubuka celana pantai. Astaga. Ada

cairan putih di celana dalamku.

Di kantor, aku masih terbayang-bayang wanita yang di

lehernya ada keringat. Masih terasa tangannya di

punggung, dada, perut, paha. Aku tidak tahan. Esoknya,

dari rumah kuitung-itung waktu. Agar kejadian kemarin

terulang. Jam berapa aku berangkat. Jam berapa harus

sampai di Ciledug, jam berapa harus naik angkot yang

penuh gelora itu. Ah sial. Aku terlambat setengah jam.

Padahal, wajah wanita setengah baya yang di lehernya

ada keringat sudah terbayang. Ini gara-gara ibuku

menyuruh pergi ke rumah Tante Wanti. Bayar arisan.

Tidak apalah hari ini tidak ketemu. Toh masih ada hari

esok.

Aku bergegas naik angkot yang melintas. Toh, si

setengah baya itu pasti sudah lebih dulu tiba di

salonnya. Aku duduk di belakang, tempat favorit.

Jendela kubuka. Mobil melaju. Angin menerobos

kencang hingga seseorang yang membaca tabloid

menutupi wajahnya terganggu.

“Mas Tut..” hah..? suara itu lagi, suara wanita setengah

baya yang kali ini karena mendung tidak lagi ada

keringat di lehernya. Ia tidak melanjutkan kalimatnya.

Aku tersenyum. Ia tidak membalas tapi lebih ramah.

Tidak pasang wajah perangnya.

“Kayak kemarinlah..,” ujarnya sambil mengangkat tabloid

menutupi wajahnya.

Begitu kebetulankah ini? Keberuntungankah? Atau

kesialan, karena ia masih mengangkat tabloid menutupi

wajah? Aku kira aku sudah terlambat untuk bisa satu

angkot dengannya. Atau jangan-jangan ia juga disuruh

ibunya bayar arisan. Aku menyesal mengutuk ibu ketika

pergi. Paling tidak ada untungnya juga ibu menyuruh

bayar arisan.

“Mbak Wien..,” gumamku dalam hati.

Perlu tidak ya kutegur? Lalu ngomong apa? Lha wong

Mbak Wien menutupi wajahnya begitu. Itu artinya ia

tidak mau diganggu. Mbak Wien sudah turun. Aku masih

termangu. Turun tidak, turun tidak, aku hitung kancing.

Dari atas: Turun. Ke bawah: Tidak. Ke bawah lagi: Turun.

Ke bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah

lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Hah habis kancingku habis.

Mengapa kancing baju cuma tujuh?

Hah, aku ada ide: toh masih ada kancing di bagian

lengan, kalau belum cukup kancing Bapak-bapak di

sebelahku juga bisa. Begini saja daripada repot-repot.

Anggap saja tiap-tiap baju sama dengan jumlah kancing

bajuku: Tujuh. Sekarang hitung penumpang angkot dan

supir. Penumpang lima lalu supir, jadi enam kali tujuh,

42 hore aku turun. Tapi eh.., seorang penumpang pakai

kaos oblong, mati aku. Ah masa bodo. Pokoknya turun.

“Kiri Bang..!”

Aku lalu menuju salon. Alamak.., jauhnya. Aku lupa

kelamaan menghitung kancing. Ya tidak apa-apa,

hitung-hitung olahraga. Hap. Hap.

“Mau pijit lagi..?” ujar suara wanita muda yang kemarin

menuntunku menuju ruang pijat.

“Ya.”

Lalu aku menuju ruang yang kemarin. Sekarang sudah

lebih lancar. Aku tahu di mana ruangannya. Tidak perlu

diantar. Wanita muda itu mengikuti di belakang.

Kemudian menyerahkan celana pantai.

“Mbak Wien, pasien menunggu,” katanya.

Majalah lagi, ah tidak aku harus bicara padanya. Bicara

apa? Ah apa saja. Masak tidak ada yang bisa

dibicarakan. Suara pletak-pletok mendekat.

“Ayo tengkurap..!” kata wanita setengah baya itu.

Aku tengkurap. Ia memulai pijitan. Kali ini lebih

bertenaga dan aku memang benar-benar pegal,

sehingga terbuai pijitannya.

“Telentang..!” katanya.

Kuputuskan untuk berani menatap wajahnya. Paling

tidak aku dapat melihat leher yang basah keringat

karena kepayahan memijat. Ia cukup lama bermain-main

di perut. Sesekali tangannya nakal menelusup ke bagian

tepi celana dalam. Tapi belum tersentuh kepala juniorku.

Sekali. Kedua kali ia memasukkan jari tangannya. Ia

menyenggol kepala juniorku. Ia masih dingin tanpa

ekspresi. Lalu pindah ke pangkal paha. Ah mengapa

begitu cepat.

Jarinya mengelus tiap mili pahaku. Si Junior sudah

mengeras. Betul-betul keras. Aku masih penasaran, ia

seperti tanpa ekspresi. Tetapi eh.., diam-diam ia

mencuri pandang ke arah juniorku. Lama sekali ia

memijati pangkal pahaku. Seakan sengaja memainkan Si

Junior. Ketika Si Junior melemah ia seperti tahu

bagaimana menghidupkannya, memijat tepat di bagian

pangkal paha. Lalu ia memijat lutut. Si Junior melemah.

Lalu ia kembali memijat pangkal pahaku. Ah sialan. Aku

dipermainkan seperti anak bayi.

Selesai dipijat ia tidak meninggalkan aku. Tapi mengelap

dengan handuk hangat sisa-sisa cream pijit yang masih

menempel di tubuhku. Aku duduk di tepi dipan. Ia

membersihkan punggungku dengan handuk hangat.

Ketika menjangkau pantatku ia agak mendekat. Bau

tubuhnya tercium. Bau tubuh wanita setengah baya

yang yang meleleh oleh keringat. Aku pertegas bahwa

aku mengendus kuat-kuat aroma itu. Ia tersenyum

ramah. Eh bisa juga wanita setengah baya ini ramah

kepadaku.

Lalu ia membersihkan pahaku sebelah kiri, ke pangkal

paha. Junior berdenyut-denyut. Sengaja kuperlihatkan

agar ia dapat melihatnya. Di balik kain tipis, celana

pantai ini ia sebetulnya bisa melihat arah turun naik Si

Junior. Kini pindah ke paha sebelah kanan. Ia tepat

berada di tengah-tengah. Aku tidak menjepit tubuhnya.

Tapi kakiku saja yang seperti memagari tubuhnya. Aku

membayangkan dapat menjepitnya di sini. Tetapi,

bayangan itu terganggu. Terganggu wanita muda yang di

ruang sebelah yang kadang-kadang tanpa tujuan jelas

bolak-balik ke ruang pijat.

Dari jarak yang begitu dekat ini, aku jelas melihat

wajahnya. Tidak terlalu ayu. Hidungnya tidak mancung

tetapi juga tidak pesek. Bibirnya sedang tidak terlalu

sensual. Nafasnya tercium hidungku. Ah segar. Payudara

itu dari jarak yang cukup dekat jelas membayang.

Cukuplah kalau tanganku menyergapnya. Ia terus

mengelap pahaku. Dari jarak yang dekat ini hawa panas

tubuhnya terasa. Tapi ia dingin sekali. Membuatku tidak

berani. Ciut. Si Junior tiba-tiba juga ikut-ikutan ciut.

Tetapi, aku harus berani. Toh ia sudah seperti pasrah

berada di dekapan kakiku.

Aku harus, harus, harus..! Apakah perlu menhitung

kancing. Aku tidak berpakaian kini. Lagi pula percuma,

tadi saja di angkot aku kalah lawan kancing. Aku harus

memulai. Lihatlah, masak ia begitu berani tadi

menyentuh kepala Junior saat memijat perut. Ah, kini ia

malah berlutut seperti menunggu satu kata saja dariku.

Ia berlutut mengelap paha bagian belakang. Kaki

kusandarkan di tembok yang membuat ia bebas

berlama-lama membersihkan bagian belakang pahaku.

Mulutnya persis di depan Junior hanya beberapa jari.

Inilah kesempatan itu. Kesempatan tidak akan datang

dua kali. Ayo. Tunggu apa lagi. Ayo cepat ia hampir

selesai membersihkan belakang paha. Ayo..!

Aku masih diam saja. Sampai ia selesai mengelap bagian

belakang pahaku dan berdiri. Ah bodoh. Benarkan

kesempatan itu lewat. Ia sudah membereskan peralatan

pijat. Tapi sebelum berlalu masih sempat melihatku

sekilas. Betulkan, ia tidak akan datang begitu saja.

Badannya berbalik lalu melangkah. Pletak, pletok,

sepatunya berbunyi memecah sunyi. Makin lama suara

sepatu itu seperti mengutukku bukan berbunyi pletak

pelok lagi, tapi bodoh, bodoh, bodoh sampai suara itu

hilang.

Aku hanya mendengus. Membuang napas. Sudahlah.

Masih ada esok. Tetapi tidak lama, suara pletak-pletok

terdengar semakin nyaring. Dari iramanya bukan sedang

berjalan. Tetapi berlari. Bodoh, bodoh, bodoh. Eh..,

kesempatan, kesempatan, kesempatan. Aku masih

mematung. Duduk di tepi dipan. Kaki disandarkan di

dinding. Ia tersenyum melihatku.

“Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan,” katanya.

Ia mencari-cari. Di mana? Aku masih mematung. Kulihat

di bawahku ada kain, ya seperti saputangan.

“Itu kali Mbak,” kataku datar dan tanpa tekanan.

Ia berjongkok persis di depanku, seperti ketika ia

membersihkan paha bagian bawah. Ini kesempatan

kedua. Tidak akan hadir kesempatan ketiga. Lihatlah ia

tadi begitu teliti membenahi semua perlatannya. Apalagi

yang dapat tertinggal? Mungkin sapu tangan ini saja

suatu kealpaan. Ya, seseorang toh dapat saja lupa pada

sesuatu, juga pada sapu tangan. Karena itulah, tidak

akan hadir kesempatan ketiga. Ayo..!

“Mbak.., pahaku masih sakit nih..!” kataku memelas, ya

sebagai alasan juga mengapa aku masih bertahan duduk

di tepi dipan.

Ia berjongkok mengambil sapu tangan. Lalu memegang

pahaku, “Yang mana..?”

Yes..! Aku berhasil. “Ini..,” kutunjuk pangkal pahaku.

“Besok saja Sayang..!” ujarnya.

Ia hanya mengelus tanpa tenaga. Tapi ia masih

berjongkok di bawahku.

“Yang ini atau yang itu..?” katanya menggoda, menunjuk

Juniorku.

Darahku mendesir. Juniorku tegang seperti mainan

anak-anak yang dituip melembung. Keras sekali.

“Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang boleh.”

Ia berdiri. Lalu menyentuh Junior dengan sisi luar jari

tangannya. Yes. Aku bisa dapatkan ia, wanita setengah

baya yang meleleh keringatnya di angkot karena

kepanasan. Ia menyentuhnya. Kali ini dengan telapak

tangan. Tapi masih terhalang kain celana. Hangatnya,

biar begitu, tetap terasa. Aku menggelepar.

“Sst..! Jangan di sini..!” katanya.

Kini ia tidak malu-malu lagi menyelinapkan jemarinya ke

dalam celana dalamku. Lalu dikocok-kocok sebentar.

Aku memegang teteknya. Bibirku melumat bibirnya.

“Jangan di sini Sayang..!” katanya manja lalu melepaskan

sergapanku.

“Masih sepi ini..!” kataku makin berani.

Kemudian aku merangkulnya lagi, menyiuminya lagi. Ia

menikmati, tangannya mengocok Junior.

“Besar ya..?” ujarnya.

Aku makin bersemangat, makin membara, makin

terbakar. Wanita setengah baya itu merenggangkan

bibirnya, ia terengah-engah, ia menikmati dengan mata

terpejam.

“Mbak Wien telepon..,” suara wanita muda dari ruang

sebelah menyalak, seperti bel dalam pertarungan tinju.

Mbak Wien merapihkan pakaiannya lalu pergi menjawab

telepon.

“Ngapaian sih di situ..?” katanya lagi seperti iri pada

Wien.

Aku mengambil pakaianku. Baru saja aku memasang ikat

pinggang, Wien menghampiriku sambil berkata,

“Telepon aku ya..!”

Ia menyerahkan nomor telepon di atas kertas putih yang

disobek sekenanya. Pasti terburu-buru. Aku langsung

memasukkan ke saku baju tanpa mencermati nomor-

nomornya. Nampak ada perubahan besar pada Wien. Ia

tidak lagi dingin dan ketus. Kalau saja, tidak keburu

wanita yang menjaga telepon datang, ia sudah melumat

Si Junior. Lihat saja ia sudah separuh berlutut mengarah

pada Junior. Untung ada tissue yang tercecer, sehingga

ada alasan buat Wien.

Ia mengambil tissue itu, sambil mendengar kabar

gembira dari wanita yang menunggu telepon. Ia hanya

menampakkan diri separuh badan.

“Mbak Wien.., aku mau makan dulu. Jagain sebentar

ya..!”

Ya itulah kabar gembira, karena Wien lalu mengangguk.

Setelah mengunci salon, Wien kembali ke tempatku. Hari

itu memang masih pagi, baru pukul 11.00 siang, belum

ada yang datang, baru aku saja. Aku menanti dengan

debaran jantung yang membuncah-buncah. Wien

datang. Kami seperti tidak ingin membuang waktu,

melepas pakaian masing-masing lalu memulai

pergumulan.

Wien menjilatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Aku menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya

yang tahu di mana titik-titik yang harus dituju. Aku

terpejam menahan air mani yang sudah di ujung.

Bergantian Wien kini telentang.

“Pijit saya Mas..!” katanya melenguh.

Kujilati payudaranya, ia melenguh. Lalu vaginanya, basah

sekali. Ia membuncah ketika aku melumat klitorisnya.

Lalu mengangkang.

“Aku sudah tak tahan, ayo dong..!” ujarnya merajuk.

Saat kusorongkan Junior menuju vaginanya, ia melenguh

lagi.

“Ah.. Sudah tiga tahun, benda ini tak kurasakan Sayang.

Aku hanya main dengan tangan. Kadang-kadang

ketimun. Jangan dimasukkan dulu Sayang, aku belum

siap. Ya sekarang..!” pintanya penuh manja.

Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan

berdering. Kring..! Aku mengurungkan niatku. Kring..!

“Mbak Wien, telepon.” kataku.

Ia berjalan menuju ruang telepon di sebelah. Aku

mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi ia

menunggingkan pantatnya.

“Ya sekarang Sayang..!” katanya.

“Halo..?” katanya sedikit terengah.

“Oh ya. Ya nggak apa-apa,” katanya menjawab telepon.

“Siapa Mbak..?” kataku sambil menancapkan Junior

amblas seluruhnya.

“Si Nina, yang tadi. Dia mau pulang dulu ngeliat orang

tuanya sakit katanya sih begitu,” kata Wien.

Setelah beberapa lama menyodoknya, “Terus dong Yang.

Auhh aku mau keluar ah.., Yang tolloong..!” dia

mendesah keras.

Lalu ia bangkit dan pergi secepatnya.

“Yang.., cepat-cepat berkemas. Sebantar lagi Mbak

Mona yang punya salon ini datang, biasanya jam segini

dia datang.”

Aku langsung beres-beres dan pulang.
 

KESAMPAIAN JUGA NGESEX DENGAN CEWEK IDAMAN

Namaku aldy, ini kisah yang paling mengesankan bagiku semasa aku SMA, ya pada saat itu adalah pertama kalinya aku mengenal cewek. Sebut saja cewek itu Lia. hmhmhm sebenarnya aku adalah cowok polos, tapi semenjak bertemu Lia, aku berubah menjadi cowok yang berutal. Hmhmh kisahku ini berawal dari pesta perpisahan kelas tiga. "hai Aldy, jadi nggak kita ke rumah Lia" kata Rani ke padaku. " so pastilah ran, nggak mungkinlah aku menyia-nyiakannya" jawabku sambil meneruskan langkah meninggalkan sekolah. Singkat cerita sekarang aku sedang berada di rumah, setelah mandi, makan dan sebagainya kini aku sudah siap untuk berangkat ke rumahnya Lia. TET, TET, TET. terdengar bunyi klakson yang kayanya aku kenal mobil siapa ini. "wah udah jam setengah delapan nih, pestanyakan setengah delapan bisa telat ke rumah Lia nih" gumamku dalam hati. "huy lagi sibuk ngapain sih, kaya cewek aja dandannya lama banget" kata Rani sambil membukakan pintu mobilnya untukku. "ok deh nenek cerewet" sahut ku sambil bercanda. Mobil Honda Avanza berwana silver tersebut melaju dengan kencang membelah jalanan kota Serang, tak terasa hanya 15 menit saja kita sudah sampai di rumahnya Lia. "Hmhmh ramai juga ya aku jadi minder nih" gerutuku. "Udah deh jangan menggerutu, ayo kita masuk nanti kehabisan makanan loch" kata Rani sambil menarikku kedalam. "Hai Lia wah ngabisin dana gede-gedean nih kayanya?" tanya Rani sambil cipika cipiki, "Ya jelas dong, oh ya ngomong-ngomong kamu kesini sama saiapa jangan bilang kalau sama aldy. "tapi emang bener aku sama aldy, dia kan sahabat karibku dari kecil" jawab Rani sambil meneruskan langkahnya naik keatas tangga bersama Lia. Sementara itu aku hanya menyaksikan mereka dari jauh dan aku kelihatan kaya orang bodoh sendirian di sini. tapi di sudut ruangan yang lain ku lihat Andrew dan Margaret sedang sibuk-sibuknya berciuman, padahal dia kan pacarnya Lia, "dasar playboy awas ya aku kasih tahu Lia biar nyaho" gumamku dalam hati. Aku secepat kilat langsung melangkahkan kakiku menaiki tangga dan mencari Lia yang sedang bersama Rani. "Lia, maaf kalau aku lancang memotong pembicaraan kalian, tapi ini penting untuk kamu ketahui" Rani yang ada di sampingnya pun penasaran melihat aku kayak orang kesurupan. "Apaan sih, bikin penasaran aja kamu ini Al" tanya Lia padaku. "Begini Lia, aku tadi ngeliat Andrew dan Margaret sedang asik-asiknya berciuman di kamar bawah", jawabku dengan terbata-bata. "Wah kayaknya anak itu minta dihajar sama aku, tenang Lia aku pasti bantu kamu ngehajar tuh si playboy", sahut Rani dengan muka garangnya. "Oke deh ayo kita cek dulu kebenarannya!!!!!". Kata lia sambil melangkahkan kaki menuruni anak tangga, begitupun aku dan Rani mengikutinya dari belakang. Tak berapa lama aku Rani dan Lia sudah berada di ruangan dimana Andrew dan Margaret sedang bermesraan. "Waduh mampus deh aku, pasti Lia nyangka aku berbohong nih". Gumamku dalam hati. aku lihat mata Rani melotot ke arahku dan berkata " wah Aldy bohong nih, nggak lucu tahu leluconnya!!!". Sementara itu Lia diam saja dia tidak menunjukan ekspresi apapun kepadaku, mungkin dia pikir jika kejadian ini benar terjadi mampuslah dia soalnya emang sih si Andrew itukan bintang sekolah udah tampan, keren, bule lagi. Sedikit info saja Andrew itu adalah bule belasteran Indonesia dan Selandia Baru. Tapi tiba-tiba terdengar suara samar-samar di balik pintu kamar tamu. "Ran, kamu denger nggak suara apaan ya" Tanya Lia kepada Rani. "Ya Lia, aku denger juga, kayaknya dari balik pintu itu deh". Jawab Rani kepada Lia. "Ok dech ayo kita kesana". Ajak Lia kepada Rani dan tentu saja aku. Tangan manis Lia mulai membuka pintu itu, dan perlahan demi perlahan pintu itu terbuka dan sesuatu yang tak terdugapun mengejutkan Lia. AAAAAAAAAA jerit Lia dan langsung lari entah kemana. Sementara itu aku dan Rani penasasran dan langsung masuk kedalam kamar tersebut, alangkah kagetnya aku, melihat Andrew dan Margaret sedang ngesex bareng, Rani langsung spontanitas menghajar Andrew dan Margaret sementara itu aku melangkahkan kakiku ke luar dan langsung mencari Lia. sudut demi sudut ruangan aku geledah dan setiap orang di pesta aku tanyai semua bilang tidak tahu. Tapi ku lihat di kejauhan di seberang kolam renang di samping saung aku lihat seorang cewek sedang menangis. Kayaknya aku kenal sama cewek itu. Tidak salah lagi, itu pasti Lia. Dengan secepat kilat aku lari dan langsung menghampiri Lia. "Lia, lagi ngapain sich sendirian di sini?". "Aku sungguh lagi sedih banget nich, aku kecewa banget sama Anrew dan Margaret ko teganya mereka nusuk aku dari belakang". jawab lia kepadaku sambil meneteskan air mata dan bersandar di bahuku. "Udah deh jangan nangisin orang yang nggak bener kaya mereka" kataku kepada Lia sambil menenangkannya. "Thanks ya Aldy, ternyata kamu orangnya baik". kata Lia menyambung perkataanku sebelumnya. Akhirnya percakapan demi percakapanpun kita lalui dan akhirnya kita menjadi akrab. Dan malampun semakin larut Bulan dan Bintang pun serasa menemani kita berdua, begitupun juga suara-suara jangkrik dan serangga lainnyapun ikut menemani kita berdua. Singkat cerita sekarang sudah pagi rasa-rasanya badanku sakit semua kayak habis ditonjokin Mike Tison, aku menggeliat dan membuka mata dan alangkah terkejutnya aku setelah aku menoleh di sampingku ada Lia yang sedang tertidur pulas tanpa mengenakan sehelai kainpun yang menutupi tubuh putih mulusnya, demikian pula dengan aku sendiri ku lihat tubuhku tidak mengenakan busana malahan sekarang tombak ajaibku pun masih keras mengacung. "Aldy, kamu puas nggak main sama aku semalam"?. Tanya Lia kepadaku walaupun matanya masih merem. "Aku puas sekali Lia." jawabku dengan tersenyum lebar kepadanya. "Kamu heran ya, kenapa kita bisa ngelakuin ini semua?" Tanya Lia sekali lagi. "Ya aku cuma nggak habis pikir, ko bisa ya kamu mau tidur sama aku". jawabku sekali lagi. "Tadi malamkan emang malam yang melelahkan buat aku, Andrew tega berselingkuh di belakangku, kenapa enggak aku melakukan hal yang sama di beloakangnya biar impas, kamu nggak apakan jadi pelampiasan aku"? Tanya Lia sambil menerangkan kejadian semalam. "Aku nggak msalah jadi pelampiasan atau istilah kasarnya simpanan kamu" Jawabku dengan senang hati. Hari-hari berikutnya begitu menyenangkan bagi aku dan Lia, kami sering melakukannya seminggu sekali bahkan kadang-kadang tiap hari. Kayaknya aku sudah kecanduan banget dengan yang namanya ngesex, sampai akhirnya kami berpisah karena dia pindah ke luar negeri untuk meneruskan pendidikannya
 
 
Support : Gratis berat | Jancok | bagus cuy
Copyright © 2011. KUMPULAN MACAM CERITA SEX - All Rights Reserved
Template Created by Cerita Seks indo Published by sex oh Seks
Proudly powered by Blogger