Gairah Kedewasaan tumbuh dengan binal

Siang itu matahari bersinar terik. Anak anak sekolah yang lain sudah mulai dijemput, beberapa dari mereka masih menunggu sambil membeli jajanan murahan yang banyak terdapat di depan sekolah.
“Son, kok Pak Di belum datang juga yah?”
Soni menyeka keringatnya. Memandang sekeliling.
“Iya nih, biasanya sudah datang loh sekarang.”
“Awas kalau datang.. pasti deh kubilangin Mama.” Soni tertawa.
“Jangan begitu ah.” Dengan tertawa aku memukul lengannya.
“Kalau begitu kamu saja yang kumarahin.”
Aku bersyukur ada Soni yang mau menemaniku melewati siang ini.
“Van, setelah ini kita SMA ya?”
“Umm.. iya nih. Mau masuk mana Son?” Menyebalkan untuk memikirkan hal ini.
“Nggak tau yah, mungkin ke ”
Hhh.. sudah kuduga.
“Yaa.. pisah dong.”
“Kamu serius mau masuk negeri?”
“Iya dong.”
Sejenak kami terdiam. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu.


Malam itu aku nyaris tidak bisa tidur. Pikiranku melayang-layang, mungkin Soni marah mengetahui aku lebih memilih untuk memasuki SMU negeri. Dalam statusnya, memang lebih baik sekolah di swasta, tapi buatku, kebosanan pada teman-temanku yang selalu memamerkan setiap perjalanan mereka ke luar negeri selalu mendorongku untuk lebih memilih sekolah negeri.
“Vani, ditunggu soni tuh”, teriak mamaku.
“Iya Maa..”
Cepat-cepat kukenakan bajuku. Sejenak kutatap diriku di depan cermin, dan aku mulai bertanya-tanya, mungkinkah aku sudah bisa disebut dewasa? Aku tinggi, buah dadaku sudah tumbuh, begitu juga dengan bulu-bulu kemaluanku. Aku sudah puber, setidaknya 6 bulan yang lalu. Apakah aku sudah dewasa? Aku pernah merasakan sangat gerah, tepatnya 2 hari yang lalu. Saat itu entah kenapa mendadak memijat-mijat kemaluanku membuatku merasa sangat tenang dan enak. Aku sering juga mengintip Papa melihat film-film orang dewasa. Dan aku bukan seorang anak yang bodoh untuk tidak mengetahui apa yang kulihat. Banyak majalah dan tabloid remaja sudah kubaca, dan aku merasa sudah cukup mengetahui apa yang ingin kuketahui. Aku sudah dewasa, demikian aku memutuskan, sebelum aku tersadar dan segera lari menuruni tangga menemui soni.



Hari ini soni mengajakku nonton di Delta, bersama dengan teman-teman yang lain.
“Vani.. umm.. aku suka kamu.”
“Huh?”
“Iya, aku suka kamu. Aku nggak pingin kamu pergi.”
“Kamu lucu deh.”
Sejenak kulihat ia terdiam, menghela nafas panjang.
“Aku juga”, kubisikkan kata itu di telinganya.
Benarkah? Entahlah.
“Aku kan nggak sekolah di Afrika.”
soni tertawa. Aku juga. Yup, aku juga suka soni.



Mungkin kekhawatiranku yang memicu kejadian ini. Entahlah. Tapi masih terbayang di benakku bagaimana dengan malu-malu soni mencium bibirku sebulan yang lalu, rasanya aku mendadak sangat dewasa. Jadi aku membiarkan saja dia mengulum bibirku, lagi pula aku sangat ingin mengetahui rasanya. Ternyata selain getir dan kenyal, enak juga. Aku juga membiarkan soni meletakkan tangannya di dadaku malam itu, rasanya geli dan sedikit menakutkan, tapi selebihnya, asyik-asyik saja. Namun kegelisahanku membuyarkan rasa enak di benakku saat soni meraih kancing bajuku dan berusaha membukanya.
“Son, ngapain sih.”
“Ahh.. sorry. Maaf..”
Aku melihat wajahnya memerah, dan astaga, dia menangis.
“Vani, aku cowok yang lemah.. maafkan aku.”
soni bangkit berdiri dan meraih tombol lampu.
“Son..”
soni menghampiriku dan mendadak terduduk dan memeluk lututnya. Ia menangis lagi.
“soni..” kataku.



Kupandangi wajahnya, lalu dia menatapku. Kemudian dia mendekati wajahnya ke wajahku dan akhirnya bibir kami bertemu. Kami berciuman lama, dia mencium lembut bibirku dan sambil tangannya memegang buah dadaku dan meremas-remasnya. Terasa nikmat sekali rasanya. Aku membiarkan saja soni membuka kancing-kancing bajuku. Juga kubiarkan ia melepaskan bajuku.



soni membuka bajunya, dan aku merasakan tubuhku bergetar saat ia menyentuh jepitan bra-ku dan melepasnya. Sekarang aku dapat merasakan kehangatan kulitnya di dadaku, kami mendesah berbarengan. Jantungku terasa berdegub kencang, antara takut dan rasa ingin tahu. soni meletakkan telapak kirinya di dada kiriku, perasaan nyaman dan hangat kurasakan saat ia menggerak-gerakkan jemarinya memijat dan menekan. Sejenak pikiranku terbayang kepada film-film yang sering kulihat dari balik pintu. Apakah begini rasanya? Aku diam saja saat soni mangangkat rok sekolahku. Lalu dia meletakkan tangannya di kemaluanku. Kemudian dia menyelipkan jarinya ke balik celana dalamku. Sambil bibirnya diletakkan di buah dadaku. Oh Tuhan, begitu bodohnya aku untuk menikmati saat itu.



Aku hanya bisa melihat saja saat soni membuka kancing celananya. Selanjutnya aku tak ingin melihat lagi. Mungkin karena saat itu aku merasa sangat malu. Namun yang kuingat saat itu, soni menarik celana dalamku ke bawah, dan membiarkanku merasakan ketelanjanganku. Selanjutnya ia membiarkanku sendiri beberapa saat, (aku tak tahu apa yang dilakukannya hingga beberapa hari kemudian setelah kejadian ini). Sejenak aku terhenyak saat sesuatu yang keras menusuk kemaluanku. Aku menjerit kecil dan membuka mataku lebar-lebar, sehingga aku dapat melihat raut wajah soni yang penuh keringat dan tampak merasa sangat bersalah.



Argumen-argumen yang dikeluarkan soni saat itu membuat hatiku kacau balau, antara norma-norma yang kupelajari dari agama dan kedua orangtuaku, dengan segala rasa ingin tahu yang kurasakan saat itu. Namun aku membiarkan saja rasa sakit itu menusuk-nusuk perutku. Perutku mengejang saat soni menekan-nekan barangnya ke kemaluanku, dan menggesek-gesekkannya, membuatku merasakan perih yang amat sangat. soni menciumi hampir separuh badanku bagian atas, membuatku menjadi gerah dan merasa basah. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, rasa perih di pangkal pahaku membuat rahangku terasa kaku dan aku berusaha menggapai-gapaikan tanganku ke segala arah, mencari dan mencengkeram apa yang bisa kucengkeram.



Beberapa saat kemudian aku merasakan sesuatu menyembur ke permukaan perutku, dan kudengar soni menggeram lirih. Aku merasakan gerakannya berhenti, dan kemudian soni menjatuhkan kepalanya di dadaku, aku tak tahu apa yang terjadi (baru beberapa hari setelahnya aku tahu, dan sekarang mungkin aku akan tertawa mengingatnya).



Mungkin itu merupakan sebuah pengalaman yang bisa dikatakan pengalaman pertama buatku dalam mengenal seks. Namun, aku baru sadar (dan sedikit mensyukuri saat itu), bahwa ternyata aku belum kehilangan keperawananku. Mungkin karena aku ketakutan, atau mungkin karena soni merasa putus asa. Akhirnya, soni dan aku benar-benar berpisah menjelang kenaikan kelas dari kelas 1 ke kelas 2 SMU, dan seperti yang diduga sebelumnya, ia memilih memasuki SMU swasta, sedangkan aku tetap di pilihanku semula, yaitu di SMU negeri. Terus terang saja aku sekarang telah kehilangan keperawananku, dengan temanku sekampus. Tapi, satu hal yang masih kuingat dan kujadikan memori indah, yaitu bahwa soni, temanku yang tersayang, merupakan cowok yang bisa mengajakku melakukan pendidikan seks untuk yang pertama kali, walaupun belum berhasil 100%. Love you soni, dan ia sekarang sudah di USA bersama keluarganya, semenjak kerusuhan tahun 1998. Seandainya kamu membaca ini.
Share this article :
 
 
Support : Gratis berat | Jancok | bagus cuy
Copyright © 2011. KUMPULAN MACAM CERITA SEX - All Rights Reserved
Template Created by Cerita Seks indo Published by sex oh Seks
Proudly powered by Blogger